Rabu, 11 Mei 2016

LEGENDA PRAHARA PENGALIHAN ALIRAN KALI CACABAN



PRAHARA PENGALIHAN ALIRAN KALI CACABAN
DI SEBAGIAN WILAYAH KECAMATAN TARUB, SURADADI DAN KRAMAT KABUPATEN TEGAL PROVINSI JAWA TENGAH
              Di salah satu wilayah Kecamatan Kramat ada satu wilayah desa yang bernama Desa Kepunduhan. Adapun nama kepunduhan diambil dari nama seorang pertama kali bertempat tinggal di desa tersebut yaitu MUNDZU yang berasal dari bahasa Arab yang dalam bahasa Indonesia masa awal atau pertama kali, kemudian karena di wilayah tersebut makin banyak orang yang berdatangan maka untuk selanjutnya terbentuklah suatu wilayah desa, dengan nama KEPUNDUHAN sebagai penghargaan kepada seorang yang pertama kali mukim di desa tersebut yang oleh masyarakat sekarang menyebutnya MBAH MUMNDZU.
              Silsilah MHAH MUNDZU adalah putra dari UMAR SAID yang mempunyai sebutan  MBAH HAJI putra dari MBAH PANGGUNG Kota Tegal, selanjutnya UMAR SAID menjadi Bupati Tegal dengan sebutan BUPATI KALORAN, beliau sebelum meninggal dunia berpesan kepada seluruh keluarganya apabila beliau meninggal supaya dimakamkan di desa SEMEDO (artinya Semedi) Kecamatan Kedungbanteng Kabupaten Tegal.
              MBAH MUNDZU mendapat  tugas dari ayahnya untuk memperjuangkan agama Islam menyingkir dari lingkungan kadipaten dengan cara berkebun atau bertani. Mbah Mundzu juga mempunyai gelar KUMINTEN, MARIBAH dan MBAH TELUK WULUH. Karena sebagai umat Nabi Muhammad SAW. berkewajiban punya istri maka menikahlah dengan  seorang gadis yang cantik, berakhlak mulia yang bernama NYI RANTANG SARI, mereka hidup dengan penuh  kasih sayang. Dalam mengarungi hidupnya mereka dalam usahanya dengan menggarap perkebunan di sebidang tanah yang terletak di TELUK WULUH tepatnya di wilayah desa Bulakwaru Kecamatan Tarub, karena Mbah Mundzu setiap harinya berkebun di wilayah tersebut maka Mbah Mundu diberi gelar Mbah Teluk Wuluh.
              Teluk Wuluh adalah daerah perkebunan yang posisinya dikitari oleh kali Cacaban yang mengalir ke arah Barat sebelah Selatan desa Kesamiran kemudian ke arah Utara sebelah Barat desa Kesamiran, Kebanyon, Kajongan, Kesadikan, Ketileng, Kepunduhan, Kebampang, dan  Maribaya. Nama-nama desa tersebut di atas pada waktu itu belum diberi nama masih berupa semak belukar dan pepohonan yang lebat.
              Selanjutnya terjadinya desa-desa tersebut di atas adalah pada suatu waktu hari Mbah Mundu dan Istrinya Nyi Rantang Sari tidak berangkat berkebun yaitu di Teluk Wuluh mereka hanya di rumah saja istirahat karena tanaman kebunnya baru saja ditanami palawija. Mbah Munzdu mempunyai saudara laki-laki adiknya yang bernama JAKA LELANA. Karena sudah sekian lama Mbah Mundzu dan Jaka Lelana berpisah tidak pernah ketemu, maka pada suatu waktu ayahnya yaitu Umar Said alias Bupati Kaloran memerintahkan kepada JAKA LELANA untuk mencari dan menemui kakaknya yaitu Mbah Mundzu karena ayahnya (Bupati Kaloran) rindu dan kangen ingin bertemu.
              Dengan perintah ayahnya (Bupati Kaloran) berangkatlah JAKA LELANA dari Tegal sambil menyelusuri perkebunan dan tegalan yang luas ke arah Timur. Jaka Lelana dengan semangat penuh kesabaran dalam mencari kakaknya yaitu Mbah Mundzu akhirnya dapat bertemu di rumahnya. Dalam pertemuan tersebut keduanya saling berpelukan dan mengucapkan selamat untuk masing-masing, Jaka Lelana akhirnya ikut menjadi penduduk desa Kepunduhan disanalah dia pekerjaannya menjadi empu / pandai besi membuat arit (sengkrong) cangkul, keris, dan alat-alat rumah tangga dan pertanian, karena pekerjaannya sebagai tukang pandai/empu beliau diberi nama julukan EMPU GALAGAMBA bertempat di pojok barat laut  desa Kepunduhan, karena sudah menjadi adat-istiadat masyarakat Jawa apabila baru bertemu maka keduanya saling dialog membicarakan keadaan masing-masing termasuk pasangan hidup atau istri, dalam perbincangan tersebut Mbah Mundzu sambil nyeletuk pertanyaan, apakah dinda sudah punya istri ?.
              Kemudian Jaka Lelana menjawabnya dengan jawaban, “Bahwa aku selamanya tidak akan menikah, dengan alasan tertentu”. Karena adiknya menjawab seperti itu maka, Mbah Mundzu merasa tersinggung, kemudian Mbah Mundzu memberi ujian kepada Jaka Lelana, dia masuk ke dalam kamarnya dengan membaca do’a kepada  Allah bahwa beliau punya keinginan supaya dijadikan rubah jenis seorang perempuan cantik kemudian Allah mengabulkannya jadilah Mbah Mundzu menjadi seorang perempuan cantik, kemudian dia keluar menemui adiknya Si JAKA LELANA, walaupun Jaka Lelana sudah mengatakan tidak mau nikah dengan siapun sifaf manusia pasti mempunyai syahwat/keinginan Si Jaka Lelana dalam hatinya berkata, “Waduh sudah kadung ngomong sama Kang Mas Mundzu tidak akan nikah, padahal ini perempuan sangat cocok untuk dirinya”. Sekejap kemudian orang perempuan tersebut adalah menjelma kembali Mbah Mundzu, Mbah Mundzu, sambil berkata matamu koyor baru sebigini saja dinda tidak tahu !, Mbah Mundzu memberi wejangan pada si Jaka Lelana, apabila berkata supaya dipikir terlebih dahulu, dinda”.
              Merasakan peristiwa tersebut, Si Jaka Lelana mempunyai pikiran negatif karena merasa tersinggung dengan kakaknya (Mbah Mundzu), dia mau menggangu istri Mbah Mundzu yaitu Nyi Rantang Sari. Keesokan harinya Mbah Mundzu melakukan kegiatan atau pekerjaan yang sudah biasa lakukan pergi ke kebun di Teluk Wuluh, disana Mbah Mundzu disamping berkebun beliau juga sambil memelihara unggas yaitu bebek, karena lokasi kebunnya cukup jauh dari desa Kepunduhan beliau apabila sudah waktu sholat dzuhur tidak pulang kerumah, melainkan melaksanakan dzuhur dan ashar di gubug yang ada di kebunnya. Sedang pada waktu istirahat untuk makan siang sudah menjadi kebiasaan makannya dikirim oleh sang istri Nyi Rantang Sari sekitar jam 11.00 siang sudah sampai di kebun Teluk Wuluh dengan menyeberang kali Cacaban dikarenakan kebunnya di sebelah selatannya. Jaka Lelana karena merasa malu di wirang oleh kakaknya, dia melakukan aksinya untuk mengganggu mbakyu iparnya Nyi Rantang Sari pada saat ngirim makanan untuk kakaknya, pada waktu menyeberang kali Cacaban, aksi tersebut si Jaka Lelana menyamar/menjelma  Buaya Putih di tempat inilah akhirnya diberi nama desa Kesamiran artinya si Jaka Lelana menyamar menjadi Buaya Putih.
              Buaya Putih lalu menjebur ke kali Cacaban dimana tempat itu biasa untuk menyeberang Nyi Rantang Sari menuju ke kebun suaminya Mbah Mundzu, karena Nyi Rantang Sari pada waktu menyeberang kali Cacaban disitu ada Buaya Putih akhirnya dia tidak jadi menyeberang disebabkan takut barang kali dimakan oleh Buaya Putih tersebut, selanjutnya Nyi Rantang Sari mencari dan menelusuri pinggir kali Cacaban tempat yang paling aman agar Buaya Putih tidak mengganggunya, jadi yang biasanya Nyi Rantang Sari pada sekitar jam 11.00 siang sudah sampai dimana Mbah Mundzu berkebun karena kejadian habis dihadang oleh seekor Buaya Putih, maka baru sampai sekitar jam 13.00, dengan keterlambatan Nyi Rantang Sari membawa kirimannya maka Mbah Mundzu menanyakan pada sang istri. Nyi, apa yang terjadi pada Nyi hari ini ?, Nyi Rantang Sari, menjawab dengan terbatah-batah bahwa tadi pagi aku pada waktu akan menyeberang ada seekor Buaya Putih menghadang aku, akhirnya aku harus berjalan ketempat penyeberangan yang lebih aman.
               Mendengar jawaban sang istri, kemudian Mbah Mundzu mempunyai firasat bahwa Buaya Putih tersebut tidak lain hanyalah samaran/jelmaan adikku Si Jaka Lelana dikarenakan dendam dan malu terhadap kakaknya Mbah Mundzu terhadap kejadian pada hari yang lampau. Mbah Mundzu selanjutnya memberikan pelajaran kedua kalinya terhadap Si Jaka Lenana yang menyamar Buaya Putih dengan cara mengalihkan aliran kali Cacaban yang asalnya ke arah barat dialihkan ke arah timur, tapi dalam mengalihkan aliran kali Cacaban ke arah timur tidak dibendung langsung oleh Mbah Mundzu, akan tetapi dengan cara yang unik dan tidak masuk akal bagi orang awam, yaitu dengan cara sebagai berikut:
      1.            Keris yang dipegang oleh Mbah Mundzu digariskan ketanah sebagai tanda air mengalir ke arah timur atau pengalihan arus mengalir ke tmur, di sinilah nama desa Penggaritan. Kemudian memerintahkan kepada unggas peliharaannya yaitu bebek yang sedang mengiring anak-anaknya/merinya
      2.            Induknya/bibitnya di pegang oleh Mbah Mundzu kemudian pada sayapnya diselipkan sebuah keris milik Mbah Mundzu
      3.            Pada bibit bebek tersebut Mbah Mundzu sambil memegangnya lalu keris tersebut diselipkan pada sayapkan mengatakan bebek keris ini kau bawa sambil mengikuti aliran air sungai ini, ya !
      4.            Induk bebek di lepas oleh Mbah Mundzu seterusnya berjalan mengikuti aliran air kali Cacaban yang diikuti oleh anak-anaknya/merinya ke arah timur. Dalam perjalanan mengikuti arus air bebek tersebut melewati pekarangan yang disebelah selatan tanahnya berupa ladon (pasir bercampur tanah yang lembut) dan dibelah utara banyak pohon bunga cempaka, inilah cikal bakal nama desa Kladon dan Cempaka (desa Gembongdadi Kecamatan Suradadi).
      5.            Induk bebek beserta anak-anaknya terus mengikuti arus air kali Cacaban karena merinya bulunya masih lembut-lembut, kemudian berhenti disebuah pekarangan untuk istirahat disinilah terjadinya desa Karangsari artinya bulu-bulu meri yang masih lembut-lembut hinggap di wilayah pekarangan.
      6.            Perjalanan seterusnya dilakukan oleh induk bebek beserta merinya, karena merinya sudah mulai tumbuh bulu/wulu dengan kelihatan masih jarang basa jawanya esih arang, disinilah cikal bakal nama desa Karangwuluh Kecamatan Suradadi
      7.            Merinya sudah tambah hari makin dewasa maka bunyi suara meri yang asalnya wik-wik, karena sudah menjadi bebek dewasa maka suaranya berubah menjadi wak-wak, disinilah cikal bakal nama desa Nyawakan atau Karangmulya Kecamatan Suradadi
      8.            Induk bebek beserta anak-anaknya terus mengikuti arus aliran sungai karena capai mereka istirahat lagi sewilayah pekarangan, ketahuan oleh orang yang sedang buang air besar, orang tersebut mengejar segerombolan bebek tersebut akan diambil tapi ada orang lain melarangnya, dengan kata aja-aja atau jangan-jangan, inilah cikal bakal desa Karangmaja.Kecamatan Kramat
      9.            Karena habis di kejar-kejar oleh orang gerombolan bebek pada kecapaian sekali, kemudian pada gelusur atau ketiduran sambil membuang kelelehan di tempat peristirahatan , disinilah terjadinya desa Basuran
  10.            Perjalanan diteruskan oleh gerombolan mengikuti arus air dimana air tersebut mengalir, karena gerombolaan bebek tersebut sama-sama ngelak atau ngonggor maka berteduh dibawah puhon jati, inilah terjadinya desa Jatibogor Kecamatan Suradadi
  11.            Gerombolan bebek melanjutkan perjalanan ke arah utara meri-meri tersebut bulunya sudah semuanya hampir rata seperti bebek dewasa kemudian beristirahat dibawah  pohon jati, inilah asal mula nama desa Jatimerta
  12.            Perjalanan dilanjutkan ke arah utara bebek yang masih muda bulu serinya mulai pada lepas atau ilang (hilang) inilah terjadinya desa Pilang
  13.            Pada perjalanan selanjutnya gerombolan bebek tersebut ketahuan orang, orang tersebut mengejarnya tapi ada orang lain melarangnya jangan dikejar-kejar bahasa jawanya men/biarkan saja, disinilah terjadinya desa Kesemen
  14.            Karena gerombolan bebek semuanya sudah menjadi bebek dewasa dan bulunya sudah penuh seperti halnya bebek-bebek pada umumnya, inilah cikal bakal nama desa Bulu
  15.            Perjalanan diteruskan kearah utara oleh gerombolan bebek dengan melewati banyak pohon dadap di sebelah timur, disinilah terjadinya sebutan desa Sidadap
  16.            Perjalanan juga dilanjutkan sesuai aliran arus air oleh gerombolan bebek tersebut, karena airnya arusnya hanya limbungan di satu tempat saja istilah jawa nguwer maka gerombolan bebek tersebut hanya limbungan satu tempat saja, inilah cikal bakal desa Plumbungan Kecamatan Kramat
  17.            Selama dalam limbunngan tersebut induk bebek/bibitnya menghitung/milang-milang anak-anak, apakah masih utuh apa kurang seperti pada awal berangkat dari pusatnya Teluk Wuluh, inilah cikal bakal desa Melangse
  18.            Karena dalam air yang menguwer/limbungan itu banyak ikan bandengnya maka gerombolan bebek tersebut makan ikan bandeng, inilah terjadinya desa Bandengan
  19.            Karena bebek-bebek tersebut tidak pergi kemana-mana, hanya bertempat tinggal situ saja, maka didesa Plumbungan ada istilah BLOK SIBEBEK.
              Demikian alur uraian terjadinya desa-desa yang di aliri arus air kali Cacaban yang baru. Selanjutnya sejarah singkat terjadinya desa-desa yang dialiri air kali bibit Cacaban. Karena Jaka Lelana mempunyai sifat akhlaq yang tidak terpuji terhadap kakaknya, menyamar menjadi Buaya Putih dengan maksud memamerkan kesaktiannya, tapi tidak bisa kembali menjadi bentuk orang lagi seperti sedia kala, karena kutukan kakaknya Mbah Mundzu, dia tetap jadi Buaya Putih.
              Dengan kejadian ini tidak bisa mendarat, dia selalu hidup di air, karena arus aliran kali Cacaban yang mengalir ke arah barat dialihkan ke arah timur oleh Mbah Teluk Wuluh, maka air yang mengalir ke arah barat dan ke utara  mulai surut dan air mulai hilang tidak ada air maka desa tersebut dinamai desa Kebanyon, dengan mengakui penyesalannya mengganggu istri kakaknya Nyi Rantang Sari dia gajogan/nyesal terhadap perbuatannya, untuk mengenang tempat penyeselannya dia memberi nama desa tersebut Kajongan (Gajogan), karena keadaan arus air kalinya benar-benar tidak mengalir dengan jelas maka dia menamai tempat itu desa Kesadikan (Sidiq = benar) dan desa Ketileng (Ketingal jelas = Kelihatan jelas) airnya sudah tidak mengalir lagi. Buaya Putih alias Jaka Lelana terus mengikuti arus air yang tersisa, karena kalinya banyak semak belukar yang padat maka dia sambil menyingkirkan/mbabati semak-semak tersbut inilah cikal bakal desa Babat kemudian karena arus air hampir sampai di muara dan semak belukarnya sudah bersih maka tempat itu diberi nama Kebangpang.
              Selanjutnya Baya Putih tetap mengikuti aliran arus air kali Cacaban bibit sampailah beliau di suatu curah yaitu tempat akhir bertemunya  air kali Cacaban bibit sebelah barat dan  air kali Cacaban baru sebelah timur. Buaya Putih jelmaan Jaka Lelana ditempat curah itu menyerupai manuk/burung yang sedang kedinginan daerah ini disebut Dukuh Kemanukan, selanjutnya Buaya Putih kembali rupa manusia seperti sedia kala alias mari menjadi Buaya Putih maka untuk mengenang tempat tersebut dijadikan desa Maribaya Kecamatan Kramat.
               Setelah menjadi manusia biasa Jaka Lelana mendarat berjalan   selatan sambil membawa kayu Kedondong untuk teken dia berjalan sambil menelusuri semak belukar, kira-kira berjalan sekitar 500 meter dari tempat Curah di suatu tempat Jaka Lelana matanya mengalami kegelapan alias blabur tidak bisa melihat apa-apa, sesuatu yang ada di sekitarnya, akhir Jaka Lelana menancapkan kayu Kedondong tempat itulah kemudian diberi nama Blok Blabur yang terletak di tengah sawah, walaupun Jaka Lelana matanya blabur tetap melakukan perjalanan dengan membawa teken dari kayu Kecacil Putih atau Kesambi Tulak sebagai gantinya kayu Kedondong, dalam perjalanan  Jaka Lelana matanya mulai melihat yang ada di sekitarnya, makin keselatan Jaka Lelana matanya dapat melihat dengan jelas dalam bahasa jawa bening matane weruh jelas, disinilah Jaka Lelana memberi tempat tersebut dengan sebutan desa Kemuning, dalam masa berjalan sampai di tengah desa Kemuning dia istirahat, setelah istirahat sudah cukup, dia meneruskan perjalanan kearah selatan tapi sebelum meneruskan perjalanan  kayu Kecacil Putih yang untuk teken itu ditancapkan ke tanah dan akhirnya tumbuh hidup dengan subur, hingga sampai sekarang pohon Kecacil Putih itu masih hidup,.
              Setelah istirahat di tengah desa Kemuning beliau meneruskan perjalanan menuju ke selatan dengan bekal nasi sa KEPEl/Se genggam tangan nasi inilah cikal bakal desa Kepel tapi sebelum sampai di desa tersebut beliau beristirahat di daerah yang di kelilingi yang berbentuk tanjung maka daerah disebut Blok Tanjung, di tengah desa Kepel beliau istirahat di sebuah pohon kemudian beliau membangun gubug untuk tempat istirahat, kemudian tempat disebut dengan Mranggen karena hanya sebentar saja di situ bertempat tinggalnya, selanjutnya beliau meneruskan perjalanan ke arah selatan lagi ke daerah bulakan yang banyak tanaman pohon buah mangga/pelem Kuweni, inilah cikal bakal nama desa KUWENI, di daerah inilah Jaka Lelana bersemedi/betapa sampai raga/tubuhnya hilang, dengan kejadian ini beliau berganti nama MANGUN TAPA
              Adapun salah satu kramatnya seperti pepohonan apa saja apabila di gunakan/di manfaatkan oleh warga masyarakat desa selain desa Kuweni tidak dapat digunakan, contohnya pohon kelapanya apabila digunakan untuk bangunan walaupun pohonnya tua oleh warga masyarakat selain desa Kuweni, kayu kelapa/glugu tersebut melengkung tapi apabila di kembalikan lagi ke desa Kuweni lurus lagi dan dapat digunakan oleh warga masyarakat desa Kuweni tersebut, contoh lain pohon apa saja apabila untuk ngobong/mbakar bata merah selain warga desa Kuweni batanya tidak bisa matang/merah alias masih utuh seperti sedia kala, tapi apabila di gunakan warga masyarakat desa Kuweni bata merah tersebut biasa matang/merah. Perjalanan selanjutnya Jaka Lelana/Mangun Tapa meneruskan perjalanan ke arah timur untuk pergi ke kerajaan Majapahit, tetapi karena kerajaan Majapahit sudah runtuh/bubar dengan ganti Kerajaan Mataram Islam, maka beliau pulang kembali ke barat dengan singgah di daerah KEJEPIT Randudongkal Kabupaten Pemalang, di sana beliau meneruskan pekerjaannya sebagai pandai/empu lagi dengan jejuluk/sebutan SUKMA MENANGGUNG.
              Setelah perkembangan zaman dan sistem pemerintahan dari kerajaan ke alam tatanan pemerintahan demokrasi, maka desa-desa yang telah diuraikan diatas, maka dirubah sistem pemeritahan dengan nama yang baru gabungan dari desa-desa yang tergabung dalam wilayah kecamatan, di antaranya sebagai berikut:
      1.            Perkebunan Teluk Wuluh tetap ikut ke desa Bulakwaru Kecamatan Tarub
      2.            Desa Kesamiran dan Kebanyon di jadikan desa Kesamiran Kecamatan Tarub
      3.            Desa Kajongan dan Kesadikan di jadikan desa Kesadikan Kecamatan Tarub
      4.            Desa Karangsari dan Karangwuluh menjadi desa Karangwuluh Kecamatan Suradadi
      5.            Desa Kladon dan Cempaka menjadi desa Gembongdadi Kecamatan Suradadi
      6.            Desa Nyawakan menjadi desa Karangmulya Kecamatan Suradadi
      7.            Desa Basuran, Jatibogor dan Jatimerta dijadikan desa Jatibogor Kecamatan Suradadi
      8.            Desa Ketileng tetap menjadi desa Ketileng Kecamatan Kramat
      9.            Desa Kepunduhan tetap menjadi desa Kepunduhan Kecamatan Kramat
  10.            Desa Karangmaja, Kepel, Kuweni dan Klasian dijadikan desa Tanjungharja Kecamatan Kramat
  11.            Desa Kesemen, Bulu dan Kemuning dijadikan desa Kemuning Kecamatan Kramat
  12.            Desa Kebangpang dan Plumbungan dijadikan desa Plumbungan Kecamatan Kramat
  13.            Desa Kemanukan, Pengasinan dan Maribaya dijadikan desa Maribaya Kecamatan Kramat
  14.            Adapun desa Bangun Galih adalah gabungan dari desa Babat, Wot Galih, Pilang Bango dan Semaden  Kecamatan Kramat sejarahnya beda orang tapi masih keturunan Mbah Mundzu, yaitu KI JAGA yang terkenal dengan sebutan MALING GUNA. Sebelum menguraikan napak tilas KI JAGA, perlu diketahui bahwa Mbah Mundzu dan Nyi Rantang Sari dikaruniai anak sejumlah 18 anak, dengan setiap melahirkan dengan sifat Qudrat dan Iradatnya Allah selalu kembar tiga sampai 6 kali melahirkan, tetapi ajibnya lagi bila melahirkan anak yang kembar tiga tersebut selalu yang lahir dulu adalah jenis kelaminnya lelaki yang lahir berikutnya adalah jenis kelaminnya putri/perempuan. KI JAGA adalah anak Mbah Mundzu anak lahir pertama kembar tiga yang ke enam/terakhir. Adik perempuan Ki Jaga yang bernama ... Ki Jaga punya isteri (namanya ....) di Dukuh Jatimerta Desa Jatibogor Kecamatan Suradadi Kabupaten Tegal mempunyai anak namanya KALYA
  15.            Desa Pilang, Sidadap, Mlangse, dan Bandengan menjadi desa Sidaharja Kecamatan Suradadi. Di desa Sidaharja Kecamatan Suradadi ada desa sebutan baru yaitu desa PELEMAN, ceritanya sebagai berikut; Jalan jalur desa Sidaharja – Jatibogor Kecamatan Suradadi dari arah utara di lokasi tersebut belum ada rumah penduduk sekitar kuru n waktu tahun 1965 masih kosong, tapi jalur jalan tersebut sudah biasa untuk lewat oleh warga masyarakat sekitar, kira-kira seratus meter dari jalan raya nasional disemailah pinggir timur jalan ada sebuah pohon Beringin yang rindang, karena pohonnya rindang sudah jadi kebiasaan orang-orang habis menempuh perjalanan jauh mencari nafkah kalau pulang bila sampai di tempat pohon beringin itu sama-sama beristirahat,.
            Dalam istirahat ada orang makan buah mangga orang Jawa menyebutnya woh PELEM, setalah dimakan daging mangganya isinya/peloknya tidak dibuang tapi diletakkan di sela-sela cabang pohon Beringin/Weringin tersebut, dengan seiring waktu karena Allah SWT mempunyai sifat  QUDRAT dan IRADAT isi/pelok mangga/pelem tumbuh/tukul di tengah-tengah cabang pohon Beringin, lama-lama tumbuhan mangga mulai besar di atas pohon Beringin, tapi pohon Beringin yang asalnya rindang lama-lama sebagian atasnya pohon mangga/pelem tersebut rontok dan cabang-cabang pohon Beringin mati, adapun pohon mangga/pelem yang hidup di atas pohon beringin tumbuh subur, karena pohon beringinnya hanya bagian bawahnya masih dan diatasnya pohon mangga terjadilah okulasi antara batang beringin dan mangga/peleman dengan proses kejadian itu, karena yang asalnya pohon beringin tumbuh rindang tidak ada, adanya GANTI pohon mangga/PELEM.
            Zaman TERUS berkembang dan penduduk semakin banyak, maka satu persatu mulai mendirikan bangunan rumah di sekitar wilayah tersebut, sudah banyak penduduk penduduk yang bertemkpat tinggal di situ akhirnya daerah tersebut diberi nama sekarang DUKUH PELEMAN yang masih dalam wilayah desa SIDAHARJA KECAMATAN SURADADI KABUPATEN TEGAL.
Demikian sekilas pandang sebagai pengetahuan, khususnya warga masyarakat Kabupaten Tegal dan sekitarnya serta masyarakat luas pada umum. semoga ada manfaatnya, Amin Yaa Rabbal Aalamin.

Ditulis oleh H. Muhammad Saroji, M.S.I Bin Sahlan Bin Kalya Bin Ki  Jaga Bin Mbah Mundzu Bin H. Umar Said/Mbah Haji (Bupati Kaloran). . Alamat Dukuh Bulu Desa Kemuning Rt.04/Rw.04 Kecamatan Kramat Kabupaten Tegal Provinsi Jawa Tengah. Email hsaroji@yahoo.com.