PRAHARA
PENGALIHAN ALIRAN KALI CACABAN
DI SEBAGIAN WILAYAH KECAMATAN TARUB, SURADADI DAN KRAMAT KABUPATEN TEGAL
PROVINSI JAWA TENGAH
Di
salah satu wilayah Kecamatan Kramat ada satu wilayah desa yang bernama Desa
Kepunduhan. Adapun nama kepunduhan diambil dari nama seorang pertama kali
bertempat tinggal di desa tersebut yaitu MUNDZU yang berasal dari bahasa Arab
yang dalam bahasa Indonesia masa awal atau pertama kali, kemudian karena di
wilayah tersebut makin banyak orang yang berdatangan maka untuk selanjutnya
terbentuklah suatu wilayah desa, dengan nama KEPUNDUHAN sebagai penghargaan
kepada seorang yang pertama kali mukim di desa tersebut yang oleh masyarakat
sekarang menyebutnya MBAH MUMNDZU.
Silsilah
MHAH MUNDZU adalah putra dari UMAR SAID yang mempunyai sebutan MBAH HAJI putra dari MBAH PANGGUNG Kota Tegal,
selanjutnya UMAR SAID menjadi Bupati Tegal dengan sebutan BUPATI KALORAN, beliau
sebelum meninggal dunia berpesan kepada seluruh keluarganya apabila beliau
meninggal supaya dimakamkan di desa SEMEDO (artinya Semedi) Kecamatan
Kedungbanteng Kabupaten Tegal.
MBAH
MUNDZU mendapat tugas dari ayahnya untuk
memperjuangkan agama Islam menyingkir dari lingkungan kadipaten dengan cara
berkebun atau bertani. Mbah Mundzu juga mempunyai gelar KUMINTEN, MARIBAH dan MBAH
TELUK WULUH. Karena sebagai umat Nabi Muhammad SAW. berkewajiban punya istri
maka menikahlah dengan seorang gadis
yang cantik, berakhlak mulia yang bernama NYI RANTANG SARI, mereka hidup dengan
penuh kasih sayang. Dalam mengarungi
hidupnya mereka dalam usahanya dengan menggarap perkebunan di sebidang tanah
yang terletak di TELUK WULUH tepatnya di wilayah desa Bulakwaru Kecamatan
Tarub, karena Mbah Mundzu setiap harinya berkebun di wilayah tersebut maka Mbah
Mundu diberi gelar Mbah Teluk Wuluh.
Teluk
Wuluh adalah daerah perkebunan yang posisinya dikitari oleh kali Cacaban yang
mengalir ke arah Barat sebelah Selatan desa Kesamiran kemudian ke arah Utara
sebelah Barat desa Kesamiran, Kebanyon, Kajongan, Kesadikan, Ketileng,
Kepunduhan, Kebampang, dan Maribaya.
Nama-nama desa tersebut di atas pada waktu itu belum diberi nama masih berupa
semak belukar dan pepohonan yang lebat.
Selanjutnya
terjadinya desa-desa tersebut di atas adalah pada suatu waktu hari Mbah Mundu
dan Istrinya Nyi Rantang Sari tidak berangkat berkebun yaitu di Teluk Wuluh
mereka hanya di rumah saja istirahat karena tanaman kebunnya baru saja ditanami
palawija. Mbah Munzdu mempunyai saudara laki-laki adiknya yang bernama JAKA
LELANA. Karena sudah sekian lama Mbah Mundzu dan Jaka Lelana berpisah tidak
pernah ketemu, maka pada suatu waktu ayahnya yaitu Umar Said alias Bupati
Kaloran memerintahkan kepada JAKA LELANA untuk mencari dan menemui kakaknya
yaitu Mbah Mundzu karena ayahnya (Bupati Kaloran) rindu dan kangen ingin
bertemu.
Dengan
perintah ayahnya (Bupati Kaloran) berangkatlah JAKA LELANA dari Tegal sambil
menyelusuri perkebunan dan tegalan yang luas ke arah Timur. Jaka Lelana dengan
semangat penuh kesabaran dalam mencari kakaknya yaitu Mbah Mundzu akhirnya
dapat bertemu di rumahnya. Dalam pertemuan tersebut keduanya saling berpelukan
dan mengucapkan selamat untuk masing-masing, Jaka Lelana akhirnya ikut menjadi
penduduk desa Kepunduhan disanalah dia pekerjaannya menjadi empu / pandai besi
membuat arit (sengkrong) cangkul, keris, dan alat-alat rumah tangga dan
pertanian, karena pekerjaannya sebagai tukang pandai/empu beliau diberi nama julukan
EMPU GALAGAMBA bertempat di pojok barat laut
desa Kepunduhan, karena sudah menjadi adat-istiadat masyarakat Jawa
apabila baru bertemu maka keduanya saling dialog membicarakan keadaan
masing-masing termasuk pasangan hidup atau istri, dalam perbincangan tersebut
Mbah Mundzu sambil nyeletuk pertanyaan, apakah dinda sudah punya istri ?.
Kemudian
Jaka Lelana menjawabnya dengan jawaban, “Bahwa aku selamanya tidak akan menikah,
dengan alasan tertentu”. Karena adiknya menjawab seperti itu maka, Mbah Mundzu
merasa tersinggung, kemudian Mbah Mundzu memberi ujian kepada Jaka Lelana, dia
masuk ke dalam kamarnya dengan membaca do’a kepada Allah bahwa beliau punya keinginan supaya
dijadikan rubah jenis seorang perempuan cantik kemudian Allah mengabulkannya
jadilah Mbah Mundzu menjadi seorang perempuan cantik, kemudian dia keluar
menemui adiknya Si JAKA LELANA, walaupun Jaka Lelana sudah mengatakan tidak mau
nikah dengan siapun sifaf manusia pasti mempunyai syahwat/keinginan Si Jaka
Lelana dalam hatinya berkata, “Waduh sudah kadung ngomong sama Kang Mas Mundzu
tidak akan nikah, padahal ini perempuan sangat cocok untuk dirinya”. Sekejap
kemudian orang perempuan tersebut adalah menjelma kembali Mbah Mundzu, Mbah
Mundzu, sambil berkata matamu koyor baru sebigini saja dinda tidak tahu !, Mbah
Mundzu memberi wejangan pada si Jaka Lelana, apabila berkata supaya dipikir
terlebih dahulu, dinda”.
Merasakan
peristiwa tersebut, Si Jaka Lelana mempunyai pikiran negatif karena merasa
tersinggung dengan kakaknya (Mbah Mundzu), dia mau menggangu istri Mbah Mundzu
yaitu Nyi Rantang Sari. Keesokan harinya Mbah Mundzu melakukan kegiatan atau
pekerjaan yang sudah biasa lakukan pergi ke kebun di Teluk Wuluh, disana Mbah
Mundzu disamping berkebun beliau juga sambil memelihara unggas yaitu bebek,
karena lokasi kebunnya cukup jauh dari desa Kepunduhan beliau apabila sudah
waktu sholat dzuhur tidak pulang kerumah, melainkan melaksanakan dzuhur dan
ashar di gubug yang ada di kebunnya. Sedang pada waktu istirahat untuk makan
siang sudah menjadi kebiasaan makannya dikirim oleh sang istri Nyi Rantang Sari
sekitar jam 11.00 siang sudah sampai di kebun Teluk Wuluh dengan menyeberang
kali Cacaban dikarenakan kebunnya di sebelah selatannya. Jaka Lelana karena
merasa malu di wirang oleh kakaknya, dia melakukan aksinya untuk mengganggu
mbakyu iparnya Nyi Rantang Sari pada saat ngirim makanan untuk kakaknya, pada
waktu menyeberang kali Cacaban, aksi tersebut si Jaka Lelana
menyamar/menjelma Buaya Putih di tempat
inilah akhirnya diberi nama desa Kesamiran artinya si Jaka Lelana menyamar
menjadi Buaya Putih.
Buaya
Putih lalu menjebur ke kali Cacaban dimana tempat itu biasa untuk menyeberang
Nyi Rantang Sari menuju ke kebun suaminya Mbah Mundzu, karena Nyi Rantang Sari
pada waktu menyeberang kali Cacaban disitu ada Buaya Putih akhirnya dia tidak
jadi menyeberang disebabkan takut barang kali dimakan oleh Buaya Putih
tersebut, selanjutnya Nyi Rantang Sari mencari dan menelusuri pinggir kali
Cacaban tempat yang paling aman agar Buaya Putih tidak mengganggunya, jadi yang
biasanya Nyi Rantang Sari pada sekitar jam 11.00 siang sudah sampai dimana Mbah
Mundzu berkebun karena kejadian habis dihadang oleh seekor Buaya Putih, maka baru
sampai sekitar jam 13.00, dengan keterlambatan Nyi Rantang Sari membawa kirimannya
maka Mbah Mundzu menanyakan pada sang istri. Nyi, apa yang terjadi pada Nyi
hari ini ?, Nyi Rantang Sari, menjawab dengan terbatah-batah bahwa tadi pagi
aku pada waktu akan menyeberang ada seekor Buaya Putih menghadang aku, akhirnya
aku harus berjalan ketempat penyeberangan yang lebih aman.
Mendengar jawaban sang istri, kemudian Mbah
Mundzu mempunyai firasat bahwa Buaya Putih tersebut tidak lain hanyalah
samaran/jelmaan adikku Si Jaka Lelana dikarenakan dendam dan malu terhadap
kakaknya Mbah Mundzu terhadap kejadian pada hari yang lampau. Mbah Mundzu
selanjutnya memberikan pelajaran kedua kalinya terhadap Si Jaka Lenana yang
menyamar Buaya Putih dengan cara mengalihkan aliran kali Cacaban yang asalnya
ke arah barat dialihkan ke arah timur, tapi dalam mengalihkan aliran kali
Cacaban ke arah timur tidak dibendung langsung oleh Mbah Mundzu, akan tetapi
dengan cara yang unik dan tidak masuk akal bagi orang awam, yaitu dengan cara
sebagai berikut:
1.
Keris yang
dipegang oleh Mbah Mundzu digariskan ketanah sebagai tanda air mengalir ke arah
timur atau pengalihan arus mengalir ke tmur, di sinilah nama desa Penggaritan.
Kemudian memerintahkan kepada unggas peliharaannya yaitu bebek yang sedang
mengiring anak-anaknya/merinya
2.
Induknya/bibitnya
di pegang oleh Mbah Mundzu kemudian pada sayapnya diselipkan sebuah keris milik
Mbah Mundzu
3.
Pada bibit bebek
tersebut Mbah Mundzu sambil memegangnya lalu keris tersebut diselipkan pada
sayapkan mengatakan bebek keris ini kau bawa sambil mengikuti aliran air sungai
ini, ya !
4.
Induk bebek di
lepas oleh Mbah Mundzu seterusnya berjalan mengikuti aliran air kali Cacaban
yang diikuti oleh anak-anaknya/merinya ke arah timur. Dalam perjalanan
mengikuti arus air bebek tersebut melewati pekarangan yang disebelah selatan
tanahnya berupa ladon (pasir bercampur tanah yang lembut) dan dibelah utara
banyak pohon bunga cempaka, inilah cikal bakal nama desa Kladon dan Cempaka
(desa Gembongdadi Kecamatan Suradadi).
5.
Induk bebek
beserta anak-anaknya terus mengikuti arus air kali Cacaban karena merinya
bulunya masih lembut-lembut, kemudian berhenti disebuah pekarangan untuk
istirahat disinilah terjadinya desa Karangsari artinya bulu-bulu meri yang
masih lembut-lembut hinggap di wilayah pekarangan.
6.
Perjalanan
seterusnya dilakukan oleh induk bebek beserta merinya, karena merinya sudah
mulai tumbuh bulu/wulu dengan kelihatan masih jarang basa jawanya esih arang,
disinilah cikal bakal nama desa Karangwuluh Kecamatan Suradadi
7.
Merinya sudah
tambah hari makin dewasa maka bunyi suara meri yang asalnya wik-wik, karena
sudah menjadi bebek dewasa maka suaranya berubah menjadi wak-wak, disinilah
cikal bakal nama desa Nyawakan atau Karangmulya Kecamatan Suradadi
8.
Induk bebek
beserta anak-anaknya terus mengikuti arus aliran sungai karena capai mereka
istirahat lagi sewilayah pekarangan, ketahuan oleh orang yang sedang buang air
besar, orang tersebut mengejar segerombolan bebek tersebut akan diambil tapi
ada orang lain melarangnya, dengan kata aja-aja atau jangan-jangan, inilah
cikal bakal desa Karangmaja.Kecamatan Kramat
9.
Karena habis di
kejar-kejar oleh orang gerombolan bebek pada kecapaian sekali, kemudian pada
gelusur atau ketiduran sambil membuang kelelehan di tempat peristirahatan ,
disinilah terjadinya desa Basuran
10.
Perjalanan
diteruskan oleh gerombolan mengikuti arus air dimana air tersebut mengalir, karena
gerombolaan bebek tersebut sama-sama ngelak atau ngonggor maka berteduh dibawah
puhon jati, inilah terjadinya desa Jatibogor Kecamatan Suradadi
11.
Gerombolan bebek
melanjutkan perjalanan ke arah utara meri-meri tersebut bulunya sudah semuanya
hampir rata seperti bebek dewasa kemudian beristirahat dibawah pohon jati, inilah asal mula nama desa
Jatimerta
12.
Perjalanan
dilanjutkan ke arah utara bebek yang masih muda bulu serinya mulai pada lepas
atau ilang (hilang) inilah terjadinya desa Pilang
13.
Pada perjalanan
selanjutnya gerombolan bebek tersebut ketahuan orang, orang tersebut
mengejarnya tapi ada orang lain melarangnya jangan dikejar-kejar bahasa jawanya
men/biarkan saja, disinilah terjadinya desa Kesemen
14.
Karena
gerombolan bebek semuanya sudah menjadi bebek dewasa dan bulunya sudah penuh
seperti halnya bebek-bebek pada umumnya, inilah cikal bakal nama desa Bulu
15.
Perjalanan
diteruskan kearah utara oleh gerombolan bebek dengan melewati banyak pohon
dadap di sebelah timur, disinilah terjadinya sebutan desa Sidadap
16.
Perjalanan juga
dilanjutkan sesuai aliran arus air oleh gerombolan bebek tersebut, karena
airnya arusnya hanya limbungan di satu tempat saja istilah jawa nguwer maka
gerombolan bebek tersebut hanya limbungan satu tempat saja, inilah cikal bakal
desa Plumbungan Kecamatan Kramat
17.
Selama dalam
limbunngan tersebut induk bebek/bibitnya menghitung/milang-milang anak-anak,
apakah masih utuh apa kurang seperti pada awal berangkat dari pusatnya Teluk
Wuluh, inilah cikal bakal desa Melangse
18.
Karena dalam air
yang menguwer/limbungan itu banyak ikan bandengnya maka gerombolan bebek
tersebut makan ikan bandeng, inilah terjadinya desa Bandengan
19.
Karena
bebek-bebek tersebut tidak pergi kemana-mana, hanya bertempat tinggal situ
saja, maka didesa Plumbungan ada istilah BLOK SIBEBEK.
Demikian
alur uraian terjadinya desa-desa yang di aliri arus air kali Cacaban yang baru.
Selanjutnya sejarah singkat terjadinya desa-desa yang dialiri air kali bibit
Cacaban. Karena Jaka Lelana mempunyai sifat akhlaq yang tidak terpuji terhadap
kakaknya, menyamar menjadi Buaya Putih dengan maksud memamerkan kesaktiannya,
tapi tidak bisa kembali menjadi bentuk orang lagi seperti sedia kala, karena
kutukan kakaknya Mbah Mundzu, dia tetap jadi Buaya Putih.
Dengan
kejadian ini tidak bisa mendarat, dia selalu hidup di air, karena arus aliran
kali Cacaban yang mengalir ke arah barat dialihkan ke arah timur oleh Mbah
Teluk Wuluh, maka air yang mengalir ke arah barat dan ke utara mulai surut dan air mulai hilang tidak ada
air maka desa tersebut dinamai desa Kebanyon, dengan mengakui penyesalannya
mengganggu istri kakaknya Nyi Rantang Sari dia gajogan/nyesal terhadap
perbuatannya, untuk mengenang tempat penyeselannya dia memberi nama desa
tersebut Kajongan (Gajogan), karena keadaan arus air kalinya benar-benar tidak
mengalir dengan jelas maka dia menamai tempat itu desa Kesadikan (Sidiq =
benar) dan desa Ketileng (Ketingal jelas = Kelihatan jelas) airnya sudah tidak
mengalir lagi. Buaya Putih alias Jaka Lelana terus mengikuti arus air yang
tersisa, karena kalinya banyak semak belukar yang padat maka dia sambil
menyingkirkan/mbabati semak-semak tersbut inilah cikal bakal desa Babat
kemudian karena arus air hampir sampai di muara dan semak belukarnya sudah
bersih maka tempat itu diberi nama Kebangpang.
Selanjutnya
Baya Putih tetap mengikuti aliran arus air kali Cacaban bibit sampailah beliau di
suatu curah yaitu tempat akhir bertemunya
air kali Cacaban bibit sebelah barat dan
air kali Cacaban baru sebelah timur. Buaya Putih jelmaan Jaka Lelana
ditempat curah itu menyerupai manuk/burung yang sedang kedinginan daerah ini
disebut Dukuh Kemanukan, selanjutnya Buaya Putih kembali rupa manusia seperti
sedia kala alias mari menjadi Buaya Putih maka untuk mengenang tempat tersebut
dijadikan desa Maribaya Kecamatan Kramat.
Setelah menjadi manusia biasa Jaka Lelana
mendarat berjalan selatan sambil
membawa kayu Kedondong untuk teken dia berjalan sambil menelusuri semak
belukar, kira-kira berjalan sekitar 500 meter dari tempat Curah di suatu tempat
Jaka Lelana matanya mengalami kegelapan alias blabur tidak bisa melihat
apa-apa, sesuatu yang ada di sekitarnya, akhir Jaka Lelana menancapkan kayu
Kedondong tempat itulah kemudian diberi nama Blok Blabur yang terletak di
tengah sawah, walaupun Jaka Lelana matanya blabur tetap melakukan perjalanan
dengan membawa teken dari kayu Kecacil Putih atau Kesambi Tulak sebagai
gantinya kayu Kedondong, dalam perjalanan Jaka Lelana matanya mulai melihat yang ada di
sekitarnya, makin keselatan Jaka Lelana matanya dapat melihat dengan jelas
dalam bahasa jawa bening matane weruh jelas, disinilah Jaka Lelana memberi
tempat tersebut dengan sebutan desa Kemuning, dalam masa berjalan sampai di tengah
desa Kemuning dia istirahat, setelah istirahat sudah cukup, dia meneruskan
perjalanan kearah selatan tapi sebelum meneruskan perjalanan kayu Kecacil Putih yang untuk teken itu
ditancapkan ke tanah dan akhirnya tumbuh hidup dengan subur, hingga sampai
sekarang pohon Kecacil Putih itu masih hidup,.
Setelah
istirahat di tengah desa Kemuning beliau meneruskan perjalanan menuju ke
selatan dengan bekal nasi sa KEPEl/Se genggam tangan nasi inilah cikal bakal
desa Kepel tapi sebelum sampai di desa tersebut beliau beristirahat di daerah
yang di kelilingi yang berbentuk tanjung maka daerah disebut Blok Tanjung, di
tengah desa Kepel beliau istirahat di sebuah pohon kemudian beliau membangun
gubug untuk tempat istirahat, kemudian tempat disebut dengan Mranggen karena
hanya sebentar saja di situ bertempat tinggalnya, selanjutnya beliau meneruskan
perjalanan ke arah selatan lagi ke daerah bulakan yang banyak tanaman pohon
buah mangga/pelem Kuweni, inilah cikal bakal nama desa KUWENI, di daerah inilah
Jaka Lelana bersemedi/betapa sampai raga/tubuhnya hilang, dengan kejadian ini beliau
berganti nama MANGUN TAPA
Adapun
salah satu kramatnya seperti pepohonan apa saja apabila di gunakan/di
manfaatkan oleh warga masyarakat desa selain desa Kuweni tidak dapat digunakan,
contohnya pohon kelapanya apabila digunakan untuk bangunan walaupun pohonnya
tua oleh warga masyarakat selain desa Kuweni, kayu kelapa/glugu tersebut
melengkung tapi apabila di kembalikan lagi ke desa Kuweni lurus lagi dan dapat
digunakan oleh warga masyarakat desa Kuweni tersebut, contoh lain pohon apa
saja apabila untuk ngobong/mbakar bata merah selain warga desa Kuweni batanya
tidak bisa matang/merah alias masih utuh seperti sedia kala, tapi apabila di
gunakan warga masyarakat desa Kuweni bata merah tersebut biasa matang/merah.
Perjalanan selanjutnya Jaka Lelana/Mangun Tapa meneruskan perjalanan ke arah
timur untuk pergi ke kerajaan Majapahit, tetapi karena kerajaan Majapahit sudah
runtuh/bubar dengan ganti Kerajaan Mataram Islam, maka beliau pulang kembali ke
barat dengan singgah di daerah KEJEPIT Randudongkal Kabupaten Pemalang, di sana
beliau meneruskan pekerjaannya sebagai pandai/empu lagi dengan jejuluk/sebutan
SUKMA MENANGGUNG.
Setelah
perkembangan zaman dan sistem pemerintahan dari kerajaan ke alam tatanan
pemerintahan demokrasi, maka desa-desa yang telah diuraikan diatas, maka
dirubah sistem pemeritahan dengan nama yang baru gabungan dari desa-desa yang
tergabung dalam wilayah kecamatan, di antaranya sebagai berikut:
1.
Perkebunan Teluk
Wuluh tetap ikut ke desa Bulakwaru Kecamatan Tarub
2.
Desa Kesamiran
dan Kebanyon di jadikan desa Kesamiran Kecamatan Tarub
3.
Desa Kajongan
dan Kesadikan di jadikan desa Kesadikan Kecamatan Tarub
4.
Desa Karangsari
dan Karangwuluh menjadi desa Karangwuluh Kecamatan Suradadi
5.
Desa Kladon dan
Cempaka menjadi desa Gembongdadi Kecamatan Suradadi
6.
Desa Nyawakan
menjadi desa Karangmulya Kecamatan Suradadi
7.
Desa Basuran,
Jatibogor dan Jatimerta dijadikan desa Jatibogor Kecamatan Suradadi
8.
Desa Ketileng
tetap menjadi desa Ketileng Kecamatan Kramat
9.
Desa Kepunduhan
tetap menjadi desa Kepunduhan Kecamatan Kramat
10.
Desa Karangmaja,
Kepel, Kuweni dan Klasian dijadikan desa Tanjungharja Kecamatan Kramat
11.
Desa Kesemen,
Bulu dan Kemuning dijadikan desa Kemuning Kecamatan Kramat
12.
Desa Kebangpang
dan Plumbungan dijadikan desa Plumbungan Kecamatan Kramat
13.
Desa Kemanukan,
Pengasinan dan Maribaya dijadikan desa Maribaya Kecamatan Kramat
14.
Adapun desa
Bangun Galih adalah gabungan dari desa Babat, Wot Galih, Pilang Bango dan
Semaden Kecamatan Kramat sejarahnya beda
orang tapi masih keturunan Mbah Mundzu, yaitu KI JAGA yang terkenal dengan
sebutan MALING GUNA. Sebelum menguraikan napak tilas KI JAGA, perlu diketahui
bahwa Mbah Mundzu dan Nyi Rantang Sari dikaruniai anak sejumlah 18 anak, dengan
setiap melahirkan dengan sifat Qudrat dan Iradatnya Allah selalu kembar tiga
sampai 6 kali melahirkan, tetapi ajibnya lagi bila melahirkan anak yang kembar
tiga tersebut selalu yang lahir dulu adalah jenis kelaminnya lelaki yang lahir
berikutnya adalah jenis kelaminnya putri/perempuan. KI JAGA adalah anak Mbah
Mundzu anak lahir pertama kembar tiga yang ke enam/terakhir. Adik perempuan Ki
Jaga yang bernama ... Ki Jaga punya isteri (namanya ....) di Dukuh Jatimerta
Desa Jatibogor Kecamatan Suradadi Kabupaten Tegal mempunyai anak namanya KALYA
15.
Desa Pilang,
Sidadap, Mlangse, dan Bandengan menjadi desa Sidaharja Kecamatan Suradadi. Di
desa Sidaharja Kecamatan Suradadi ada desa sebutan baru yaitu desa PELEMAN,
ceritanya sebagai berikut; Jalan jalur desa Sidaharja – Jatibogor Kecamatan
Suradadi dari arah utara di lokasi tersebut belum ada rumah penduduk sekitar
kuru n waktu tahun 1965 masih kosong, tapi jalur jalan tersebut sudah biasa
untuk lewat oleh warga masyarakat sekitar, kira-kira seratus meter dari jalan
raya nasional disemailah pinggir timur jalan ada sebuah pohon Beringin yang
rindang, karena pohonnya rindang sudah jadi kebiasaan orang-orang habis
menempuh perjalanan jauh mencari nafkah kalau pulang bila sampai di tempat
pohon beringin itu sama-sama beristirahat,.
Dalam istirahat ada orang makan buah mangga orang Jawa
menyebutnya woh PELEM, setalah dimakan daging mangganya isinya/peloknya tidak
dibuang tapi diletakkan di sela-sela cabang pohon Beringin/Weringin tersebut,
dengan seiring waktu karena Allah SWT mempunyai sifat QUDRAT dan IRADAT isi/pelok mangga/pelem
tumbuh/tukul di tengah-tengah cabang pohon Beringin, lama-lama tumbuhan mangga
mulai besar di atas pohon Beringin, tapi pohon Beringin yang asalnya rindang
lama-lama sebagian atasnya pohon mangga/pelem tersebut rontok dan cabang-cabang
pohon Beringin mati, adapun pohon mangga/pelem yang hidup di atas pohon
beringin tumbuh subur, karena pohon beringinnya hanya bagian bawahnya masih dan
diatasnya pohon mangga terjadilah okulasi antara batang beringin dan
mangga/peleman dengan proses kejadian itu, karena yang asalnya pohon beringin
tumbuh rindang tidak ada, adanya GANTI pohon mangga/PELEM.
Zaman
TERUS berkembang dan penduduk semakin banyak, maka satu persatu mulai
mendirikan bangunan rumah di sekitar wilayah tersebut, sudah banyak penduduk
penduduk yang bertemkpat tinggal di situ akhirnya daerah tersebut diberi nama
sekarang DUKUH PELEMAN yang masih dalam wilayah desa SIDAHARJA KECAMATAN
SURADADI KABUPATEN TEGAL.
Demikian sekilas pandang sebagai
pengetahuan, khususnya warga masyarakat Kabupaten Tegal dan sekitarnya serta
masyarakat luas pada umum. semoga ada manfaatnya, Amin Yaa Rabbal Aalamin.
Ditulis oleh H. Muhammad Saroji, M.S.I
Bin Sahlan Bin Kalya Bin Ki Jaga Bin
Mbah Mundzu Bin H. Umar Said/Mbah Haji (Bupati Kaloran). . Alamat Dukuh Bulu
Desa Kemuning Rt.04/Rw.04 Kecamatan Kramat Kabupaten Tegal Provinsi Jawa
Tengah. Email hsaroji@yahoo.com.